Banyak orang melakukan apa saja untuk menjadi kaya. Padahal, menjadi
kaya tidak selalu menjanjikan kebahagiaan dan ketenangan. Mereka yang
lebih bijak akan memilih menjadi makmur daripada menjadi kaya.
Anda mungkin akan langsung bertanya, apa bedanya kaya (rich) dan makmur (wealthy)? Kaya biasanya didefinisikan memiliki aset atau harta yang relatif lebih banyak daripada orang kebanyakan.
Jika
rata-rata orang Indonesia hanya mampu mempunyai rumah yang harganya
ratusan juta rupiah, seseorang yang rumahnya bernilai miliaran rupiah
dapat disebut kaya. Yang lebih cerdas mendefinisikan kekayaan sebagai
aset bersih yang dimiliki seseorang. Maksudnya, harta yang dipunyai itu
harus dikurangi dengan utangnya.
Dalam zaman yang marak dengan
kartu kredit dan belanja bukan tunai lainnya, banyak orang yang
kelihatannya kaya sebenarnya tidak kaya karena aset bersihnya relatif
minim dan sebagian besar asetnya dibiayai dengan utang.
Sedangkan
definisi makmur, menurut Robert Kiyosaki dalam bukunya Cashflow
Quadrant (1998), adalah lamanya seseorang dapat mempertahankan standar
hidupnya tanpa dia atau anggota keluarga lain harus bekerja. Kemakmuran
adalah kemampuan arus kas dari aset produktif atau penghasilan pasif
seseorang memenuhi standar kehidupan normalnya.
Jika satuan
kekayaan adalah rupiah, satuan kemakmuran adalah waktu (bulan). Sebagai
contoh, jika pengeluaran bulanan Anda Rp10 juta dan aset likuid Anda
Rp200 juta, kemampuan Anda untuk bertahan hidup normal tanpa harus
bekerja adalah 20 bulan. Jika aset Anda itu produktif, Anda akan mampu
bertahan lebih lama dari 20 bulan.
Jika aset Anda mampu menopang
kehidupan Anda selama beberapa dekade ke depan atau menghasilkan kas
lebih dari Rp10 juta per bulan dalam contoh di atas, Anda dikatakan
telah mencapai kebebasan finansial (financial freedom). Kapan pun Anda tidak bergantung pada siapa pun dalam soal keuangan.
Menurut
Kiyosaki, orang kaya belum tentu makmur, apalagi bebas finansial. Yang
ingin kita raih adalah bukan kekayaan tetapi kebebasan finansial.
Kaya Tak Selesaikan Masalah
Banyak
orang berpikir permasalahan utama hidupnya adalah uang sehingga
memiliki lebih banyak uang dipercaya akan memecahkan masalahnya. Yang
terjadi, saat penghasilannya naik, pengeluaran hidup juga meningkat,
penggunaan kartu kredit lebih sering sehingga utang justru membengkak.
Orang
seperti ini bukannya semakin makmur tetapi semakin jauh dari kebebasan
finansial. Mereka lupa kalau yang penting bukan berapa banyak uang yang
dapat dihasilkan tetapi berapa banyak uang yang dapat disimpan dan
berapa lama uang itu dapat membiayai kehidupan kita.
Di banyak
negara, banyak orang menjadi kaya karena menang lotre jutaan dolar AS
(ekuivalen dengan miliaran rupiah), dapat warisan, atau menjadi
selebritis.Tetapi karena tidak memahami kekuatan uang serta tidak mampu
mengendalikan diri, uang mereka masuk dan keluar dengan begitu cepatnya.
Bukannya
membeli aset produktif seperti saham, obligasi, atau properti untuk
disewakan,mereka akan membeli rumah yang lebih besar dan mobil yang
lebih mewah. Ujung-ujungnya, uang akan segera habis dan utang kembali
muncul. Anda mungkin masih ingat kisah Mike Tyson, juara dunia tinju
termuda sepanjang sejarah yang jatuh miskin, hanya beberapa tahun
setelah dia tidak lagi bertanding.
Saat jayanya, Mike mampu
menghasilkan jutaan dolar AS hanya dari sekali bertanding. Inilah
sebabnya saya tidak henti-hentinya menuliskan pentingnya kecerdasan
finansial. Masalahnya pemahaman mengenai uang ini tidak diajarkan di
sekolah.
Sekolah hanya menekankan kemampuan skolastik dan
profesional, dan bukan kemampuan keuangan yang merupakan ilmu menghadapi
kehidupan yang diperlukan semua orang.
Bahkan difakultas ekonomi
sekalipun, baik di Indonesia maupun di beberapa negara maju seperti
Amerika, mahasiswa tidak pernah belajar personal finance, yaitu bidang
ilmu yang sangat diperlukan untuk perencanaan dan pengelolaan keuangan
pribadi dan keluarga. Mahasiswa bisnis dan akuntansi hanya belajar
corporate finance yaitu bagaimana mengelola keuangan perusahaan besar
(korporasi).
Ilmu keuangan korporasi ini tidak pernah mengajarkan
bagaimana kita dapat pintar sebagai kas defisit (debitur dalam
menghadapi bank) sekaligus lihai sebagai kas surplus (investor). Ilmu
keuangan ini juga tidak merefleksikan kenyataan perusahaan di Indonesia
yang sebagian besar tidak punya akses ke pasar modal.
Hanya kurang dari 500 perusahaan di Indonesia yang mengeluarkan saham dan obligasi di pasar modal kita hingga saat ini.
Aset Produktif Sumbernya
Saya
melihat banyak sekali orang yang hidupnya sangat dikuasai uang. Yang
bijak menurut saya adalah mestinya kita yang menguasai uang dan bukan
dikuasai uang. Jika rumah Anda yang harganya ratusan juta rupiah sudah
nyaman, buat apa beli rumah baru yang lebih besar dengan harga miliaran
rupiah?
Jika mobil Anda yang masih berumur dua tahun sudah
memberikan banyak kemudahan, buat apa memaksakan diri membeli mobil baru
yang lebih mahal dengan berutang? Belilah aset produktif dan bukan aset
konsumtif. Rumah dan mobil lebih tepat dikelompokkan sebagai kewajiban
dan bukan aset.
Rumah atau properti yang dapat disewakan dan
memberikan return tahunan sekira 5–10 persen adalah investasi tetapi
rumah yang ditinggali atau yang tidak disewakan adalah kewajiban. Aset
produktif mendatangkan kas masuk sedangkan aset konsumtif menyebabkan
kas keluar.
Silakan membeli rumah yang lebih besar dan mobil baru
setelah Anda mencapai kebebasan finansial.Anda dapat menggunakan
penghasilan pasif dari saham, obligasi, usaha,dan properti yang Anda
miliki untuk membeli rumah dan mobil yang Anda idamkan itu.
Kunci
meraih kebebasan finansial adalah mampu mengendalikan diri dan dapat
memisahkan keinginan dari kebutuhan. Uang tidak akan pernah memecahkan
masalah finansial Anda jika Anda terobsesi untuk memenuhi semua
keinginan Anda. Luruskan persepsi salah Anda terhadap uang. Kebebasan
finansial adalah hasil proses mental dalam memandang dan memahami uang.
Terakhir, buatlah uang Anda “bekerja” untuk Anda. Anda pun akan menjadi bebas finansial.